Barangkali mungkin akan ada yang menunjuk hidung ke arah saya,
membid’ah-bid’ahkan saya, terkait judul di atas yang terkesan
kontroversial. Biar saja. Saya memang suka dengan yang ’ribut-ribut’,
saya membenci ’kedamaian’ jika ia hanya sekadar aforisma dari kungkungan
’zona nyaman’. Sebagai penyesatan opini, dan jebakan intelektual.
Istilah
Muslim Dzimmi memang tidak pernah ada dalam konsep Islam. Ini hanya
inisiatif saya pribadi ketika melihat realitas kehidupan saat ini yang
’pating pecotot’ tidak jelas jeluntrungnya. Di sisi lain, tidak jarang
dari kalangan yang mengatasnamakan dirinya intelektual muslim tanpa
segan-segan melakukan akrobat intelektual: Mengkaburkan yang haq, dan
mentolerir yang bathil.
Dahulu saya berbangga hati jika
Negeri tempat tinggal dan kelahiran saya, dikatakan sebagai komunitas
Muslim terbesar di dunia. Rasa-rasanya ”wah” dan tak tertandingi. Namun
maaf, kali ini mungkin saya harus merevisi anggapan itu,
setidak-tidaknya untuk diri saya sendiri. Sekali lagi maaf. Bukan karena
saya sudah mulai lancang dan durhaka, tetapi memang sudah benar-benar
saya renungkan. Apa yang perlu saya banggakan jika jumlah umat Muslim
hanya sebatas kuantitas semata-mata, dan nyatanya hampir selalu
keteteran untuk membela dan mengangkat kemuliaan Agamanya.
Pada
akhirnya saya mengerti, Negara ini sebetulnya bukan mayoritas
penduduknya beragama Islam. Silakan Anda heran, tetapi saya tidak,
karena seperti apa yang saya ketahui, bahwa mayoritas penduduk Negeri
ini lebih banyak menganut ”Agama Demokrasi”. Kalaupun benar ber-KTP
Islam, mereka pun tak segan-segan ”poligami” Ideologi. Alhasil, silakan
Anda Islam, tapi sebatas di Masjid, di majlis-majlis dzikir, dan di
bulan Suci. Tak usah bawa-bawa agama di ranah politik, jangan seret
Islam dalam wilayah konstitusi. Islam terlalu suci untuk semua itu. Lagi
pula, dan ini yang lebih penting, bahwa Negara ini, bukan Negara Arab!
Bukan negara Syariat!
Laa haula wa laa quwwata illaa biLlah...
Kalau
yang mengatakan seperti itu adalah orang yang menganut agama selain
Islam, saya kira wajar. Tetapi jika ucapan itu meluncur dari mulut
seseorang yang notabene mengaku Islam, berarti dugaan saya benar, mereka
itulah yang disebut ”Muslim Dzimmi”. Di satu sisi mereka bebas
melakukan ibadah ritual sesuai tuntunan agamanya, tetapi di sisi lain
mereka lebih tunduk dan loyal (wala’) kepada aturan selain Islam
(thaghut), serta berusaha dengan berbagai dalih untuk mentolerir
penerapan Syariat Agamanya. Oleh sebab Syariat itu harus menyesuaikan
perkembangan zaman, katanya, maka seolah-olah hukum meninggalkan syariat
menjadi ”makruh” belaka. Setara ketika mereka menghukumi sebatang rokok
Surya.
Sejenak mari membuka ’Ahkam Ahludz Dzimmah’-nya
Ibnul Qayyim Rahimahullah, beliau membagi kriteria orang-orang Kafir
sebagai berikut:
1. Kafir Dzimmy, yaitu kafir yang
membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan
bolehnya mereka tinggal di Negeri kaum Muslimin. Kafir seperti ini tidak
boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang
dikenakan kepada mereka. Mereka diperlakukan seperti halnya umat yang
lainnya.
2. Kafir Mu’ahad, yaitu kafir yang telah terjadi
kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam
kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak
boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah
dibuat.
3. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang
mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin
(Utusan, pedagang, orang yang berniat belajar keislaman, atau yang
punya hajat kunjungan dan sebagainya). Kafir jenis ini juga tidak boleh
dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
4.
Kafir Harby, yaitu kafir selain tiga jenis di atas. Kafir model inilah
yang disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam syari’at Islam.
Nah, sekarang saya tanya,
dimana Anda bisa menemukan Kafir Dzimmi? Yah, tidaklah usah dipikirkan.
Jawabannya adalah, ”sementara sudah tidak ada”. Yang ada justru ”Muslim
Dzimmi”, yang tiap tahunnya dipalak untuk setor pajak, dan harus tunduk
kepada aturan thaghut. Lebih jauh saya berangan-angan, jika seorang
Muslim melakukan kesepakatan damai atas kebrutalan Amerika dan
sekutunya, maka boleh jadi ia ”Muslim Mu’ahad”. Atau yang menimba ilmu
di Amerika dan belajar mengacak-acak Agama Islam, mereka adalah
”Musta’man”. Dan yang getol bersuara Syari’ah, Khilafah, serta Jihad
adalah ”Muslim Harbi”!
Anda mungkin tak akan setuju dengan
penamaan seperti itu. Ya, Anda memang tidak harus menghiraukan itu.
Saya hanya memberikan analogi ringan, meskipun terkesan serampangan,
bahwa dunia ini memang serba terbalik! Bahasa jawanya, ’pating pecotot’!
Yang perlu kita renungkan adalah Ayat ini:
”Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [As-Suraa: 21].
”Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah, Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]
Namun
apa yang terjadi, syari’at negerinya gelandang nyentrik Edgar David
malah justru diadopsi. Kita pun latah dengan ”kebijaksanaan” demokrasi
yang saat ini digembor-gemborkan oleh Amerika. Mestinya, sebagai orang
yang mengaku beriman, maka Ayat inilah yang harus dipegang,
”Dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” [Al-Kahfi: 26]
Ah, tetapi dasar manusia. Sudah dzalim, jahil pula.
”Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” [Al-Ahzab: 72]
Manusia itu suka nakal, brutal, dan menentang.
”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterimakasih kepada Tuhannnya.” [Al-’Adiyat: 100]
Kapan
waktu ada seseorang yang berkata kepada saya, ”Sampeyan itu mbok ya
nggak usah terlalu sok Arab”, maka saya jawab saja, ”Ah, situ juga mbok
ya jangan terlalu sok Amerika.” Sebenarnya tidak pernah ada istilah sok
Arab dan sok Amerika, karena penilaian itu harusnya hanya berdasarkan
kepada yang haq dan yang bathil, sesuai dengan aturan Allah yang Maha
Adil.
Nah, oleh karenannya mari melakukan penyadaran kembali. Sekurang-kurangnya dengan melihat perbandingan ini:
Inilah Islam:
”Inil-hukmu illaa liLlaah (Tidaklah hukum itu kecuali milik Allah)” [QS. Yusuf: 40]
Dan inilah Demokrasi:
”Kedaulatan di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” [Pasal 1 Ayat 2, UUD 1945]
Kiranya
sangat gamblang kata-kata itu untuk dimengerti. Namun lucunya, masih
saja ada yang mendebat, dengan dalih demokrasi tidak bertentangan dengan
Syari’at, karena demokrasi dianggapnya sebagai musyawarah (Asy-Syura).
Orang seperti itu tidaklah perlu ditanggapi terlalu ngotot, karena dia
pun tidak akan mau disama-samakan dengan monyet gara-gara sama-sama
punya kaki, punya tangan, serta punya postur tubuh dan paras wajah yang
hampir mirip dengan monyet. Sekalipun diperlengkap data bahwa dia
sama-sama makan pisang.
Permasalahan kronis demokrasi
sebenarnya ada pada kata ”kedaulatan” (ketundukan). Dimana ia harus
dikembalikan kepada Rakyat, lalu kepada Voting. Suara Kyai tidak ada
bedanya dengan suara ”penjaja daging”, suara Profesor tak berbeda bobot
dengan suara gelandangan. Lalu dalam hal musyawarah, jika Islam hanya
membolehkan sebatas perkara teknis, maka dalam demokrasi perkara yang
sudah jelas halal dan haramnya bisa pula dimungkinkan untuk digugat dan
dipermasalahkan. Itulah mengapa, demokrasi tidak bisa disamaratakan
dengan Islam. Dan manusia tidak mungkin disejajarkan dengan monyet!
Kawan,
entahlah sampai kapan kita akan terus diombang-ambingkan. Dipermainkan
seperti halnya barang rongsokan. Tidak ada yang membela Agama kita
kecuali apa yang kita lakukan untuk berorasi di jalanan, serta deretan
tulisan kecaman. Dan bagi saudara kita yang dijarah tanahnya mungkin
hanya bisa membalas dengan sedikit lemparan. Apa yang orang-orang
harapkan dari demokrasi pun samasekali tak kunjung menampilkan
kebijaksanaan. Akhirnya, tak perlu ada yang ditakutkan, kita buang saja
mitos ”Muslim Dzimmi”, dan kita serukan satu kata lantang: Lawan!
Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=471882624548